Dalam rangka memperingati hari kelahiran @shamposachet dan
dalam rangka mengikuti acara #HBDNtap yang diadakan beliau maka saya akan
berbagi cerita tentang bulan yang sangat berkesan di dalam hidup saya. Begini ceritanya.
Desember, beberapa puluh tahun lalu gue dilahirkan di dunia.
Kenapa ga bulan lain aja sih kenapa harus desember? Bulan yang ada di
penghujung tahun. Bulan yang merupakan bulan liburan dan banyak di nantikan
orang. Entah karena menunggu bonus tahunan ataupun menunggu pergantian tahun. Desember
bagi gue bukan hanya soal bulan dimana gue dilahirkan, desember bagi gue
merupakan bulan dimana banyak hal kecil dan besar terjadi dan membuat banyak
perubahan di dalam hidup gue.
Desember 2007. Ini dimana
gue mengikuti pendidikan dasar pecinta alam. Semua ilmu dan basic gue dalam
berkegiatan di alam bebas semua lahir di bulan ini. Hujan bulan desember
memberi kenangan manis sekaligus pahit. Tidur di dalam bivak (tenda yang dibuat
dari jas hujan) saat hujan setiap hari dan sepanjang malam. Tidur bukan
beralaskan tanah melainkan air. Percis kaya cucian piring. Dibangunkan tengah
malam dalam keadaan kedinginan karena pakaian yang sudah 3 hari tidak diganti
dan basah hanya untuk push up agar suhu badan tetap terjaga. Pagi harinya dalam
keadaan lapar hanya bisa memakan nasi yang setengah matang dan sayur yang
terbuat dari tanaman di sekitar camping ground. Menuju siang tubuh yang sudah tidak karuan bau dan bentuknya ini
berjalan menyusuri hutan untuk mencari jalan agar tidak tersesat, latihan
navigasi darat namanya. Namun semua perjuangan itu dibayar tunai dengan ilmu
dan kepribadian yang tangguh bersemayam di dalam jiwa dan raga gue sampai detik
ini.
Desember 2008. Ini pertama kalinya gue naik gunung. Pertama kalinya.
Menembus 2 puncak gunung, puncak gunung gede dan pangrango dalam waktu 2 hari 1
malam merupakan hal terberat yg dilakukan seseorang yang pertama kali baru
mendaki gunung. Apakah berjalan lancar? Tentu tidak. Dalam perjalan turun dari
puncak kedua, ya itu pangrango, menuju pos awal bahan makanan sudah habis dan
sumber pencahayaan terbatas. Kebetulan sekali waktu itu sudah gelap. Dan apa
yang terjadi? Tubuh gue sudah tidak kuat lagi, lemas, dan hampir pingsan. Hipotermia
sudah menjalar di tubuh gue. Batas antara hidup dan mati cuma sebatas kemauan. Kemauan
untuk hidup atau kemauan untuk mati. Air yang menggenang di tanah sisa hujan
semalam pun menjadi jalan satu satunya kemauan untuk hidup. Mebasahi kerongkongan
air genangan tersebut menjadi harapan agar tubuh gue masih bisa diperintah oleh
otak agar bisa bergerak. Namun, kenyataan selalu jauh dari harapan. Beberapa kali
gue coba berjalan namun jalan yang gue jejaki selalu salah, selalu menuju
jurang, bukan jalan pulang. Lalu apa yg selanjutnya terjadi? Gue harus
merelakan tubuh gue yang suci ini dijamah oleh teman gue untuk di gendong di
punggung agar lekas tiba di tempat tujuan. Dan sampai detik ini gue masih hidup
dan menulis cerita ini. Terima kasih bang aha dari padang, pertemuan pertama
kita bukan dibuka dengan obrolan yang asik melainkan dibuka oleh seonggok
daging yang bernama dan bernyawa, nemplok dipunggungmu. Dan sejak kejadian itu,
sampai sekarang gue menjadi manusia yang penuh dengan perencanaan agar kejadian
serupa tidak terjadi kembali.
Desember 2013. Setelah
beberapa tahun desember gue selalu diisi dengan perjuangan gue untuk tetap
hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik. Desember kali ini diisi dengan
sesuatu yang mematikan. Cinta. Alias kenangan pahit.
“kamu dimana?” sebuah pesan singkat gue kirimkan dari ponsel
butut gue. Sudah hampir satu jam gue berkeringat di teras rumah. Bukan karena
sedang berolah raga atau sedang makan makanan pedas ataupun berkeringat karena nahan
bera. Gue sibuk packing untuk persiapan mendaki papandayan. Walaupun gue sudah
berkali kali menapaki berbagai puncak selama bertahun tahun dan ini merupakan
perjalan ke 3 kalinya gue ke papandayan, tapi gue deg deg an karena perjalanan
kali ini adalah pertama kalinya gue mendaki hanya berdua, dan bersama mantan. Semua
persiapan gue lakukan sendiri dan berkali kali gue cek agar tidak ada yang
tertinggal, karena akan sangat fatal kalo ada yang salah karena semua kontrol ada
di gue.
“aku udah siap, kamu kerumah aja” balasan pesan singkat yang
gue kirim 15 menit yang lalu sukses bertengger di lcd henpon gue. Segera gue
mempercepat semua persiapan dan bergegas melakukan perjalanan.
Base camp papandayan 8:00 am
“berapa orang mas?”
“2 an kang”
Percakapan gue dengan ranger gunung papandayan saat
mendaftarkan diri untuk pendakian. Hari ini cukup ramai, sangat ramai malah. Papandayan
merupakan destinasi favorit para pendaki apalagi setelah mendaki gunung menjadi
kegiatan wajib pemuda pemudi masa kini. Mendaki gunung untuk menengkan pikiran
dan mencari kesunyian? Jangan harap bisa gue dapatkan saat ini. Berbeda dengan
kondisi beberapa tahun yang lalu, gunung masih menjadi tempat favorit gue untuk
menyendiri.
Kumpulan orang orang mulai berjalan menyemut di jalan berbatu.
Tas besar menghiasi punggung mereka namun dengan jiwa yang sama sekali bukan
mereka. Semua terlihat begitu mudah dimata gue untuk membedakan mana yang benar
benar mendaki karena jiwa dan mana yang bukan.
“ayo jalan” suara cempreng seorang gadis yang dari tadi
sibuk membetulkan tali sepatunya terdengar di kuping , suara itu merambat ke
syaraf otak mengirimkan sinyal ke kepala untuk menoleh dan dilanjutkan dengan
perintah otak kecil untuk bibir agar gue tersenyum.
“yuk lah keburu siang nih” jawab gue singkat seraya mengakat
tas besar berisi segala perlengkapan mendaki.
Kami berdua pun berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. Kanan
kiri kami terhampar batuan batuan yang bercampur belerang. Dan sesekali celah
bebatuan tersebut mengepulkan asap yang membuat orang orang yang ada disekitar
tempat itu menutup hidung karena baunya yang seperti bau kentut orang yang
sudah seminggu tidak buang air besar. Matahari bersinar terik diatas kepala
kami, Lelah karena berjalan, kalori yg terbakar ditambah cahaya matahari yg
membakar kulit membuat keringat mengucur sangat deras. Membuat kami sesekali
harus istirahat di bawah pohon.
“kamu tau apa yang aku paling sukai ketika tracking?” sebuah
pertanyaan meluncur dari mulut gue begitu saja?
“apa emang? Pasti ngeliatin muka aku ya?”
“hmm kurang tepat”
“terus apa?”
“air dan matahari”
“kenapa air dan matahari?”
“kenapa aku suka air dan matahari ketika tracking adalah
karena keduanya hal yang penting”
“aku tau aku tau, pasti karena kalo ga ada matahari pasti
hujan, kalo hujan jalan jadi licin terus baju jadi basah terus kamu kalo hujan
kan susah ngeliat. Kalo air karena bisa ngilangin aus. Bener ga?
“jawaban yang bagus tapi masih kurang tepat”
“terus kenapa?”
“matahari dan air itu sebenarnya musuh, bener kata kamu, kalo
ga ada matahari pasti hujan, karena hujan air turun. Keduanya ga pernah muncul bersamaan. Makanya aku
bilang mereka musuh. Tapi yang namanya musuh pasti pernah akur. Mereka pernah
mucul bersamaan tapi jarang kan, tau kan yang disebut hujan orang meninggal?”
“iya tau tau, terus hubungannya kamu suka sama matahari dan
air waktu tracking apa?”
“gini, karena sifat mereka yang dasarnya berlainan dan
bermusuhan, itu jadi salah satu faktor orang berhasil mendaki. Terutama buat
aku. Mereka itu seperti kangen dan ketemuan. Mereka itu penyakit dan obat. Matahari
itu penyakit, air itu obat. Selama di perjalanan matahari terus bikin orang
kepanasan, bikin cape, ketika cape dan panas maka minum air untuk meredakannya.
Tapi disisi lain, namanya penyakit pasti ada sisi baik kenapa penyakit bisa
ada. Matahari ada sebernarnya untuk menyemangati dan menyakiti agar kita terus
terusan semangat berjalan agar sampai ketempat tujuan. Kalo ga mau sakit dan
terus terusan minum obat makanya harus sehat, bagaimana caranya biar sehat? Ya sampai
ketempat tujuan.”
“oh gitu bener juga kamu kadang kadang”
“jadi masih mau sakit dan minum obat terus?”
“nggaaaaa”
“yaudah ayo kita sembuh”
Kami berdua pun bangkit dari tempat peristirahatan dan
kembali melanjutkan perjalanan. Setelah memberikan suntikan semangat dengan
filosofi gue yang gue sendiri anggep aneh dan ga tau kenapa gue bisa bilang
begitu, perjalanan jadi lebih cepat dan kami pun sampai di tempat tujuan lebih
awal dari waktu yang telah di perkirakan.
Hamparan pohon edelweis terlihat begitu riuh menyambut
kedatangan kami. Karena lelah dan ingin beristirahat dan makan kami segera
mencari tempat untuk mendirikan tenda dan memasak makan siang.
10.00 am
Matahari sudah lama meninggalkan kami dan pekerjaannya
digantikan oleh bulan dan bintang. Hawa dingin khas dataran tinggi mulai nakal
mencoba menggangu kenyamanan kami. Api dan asap putih menari nari di atas kayu
yang terbakar seolah tidak terganggu oleh dingin yang juga coba mengusik
mereka.
“kamu kenapa diem aja? Mulutnya di silent?” ucap gue memcah
keheningan kami yang sedaritadi hanya duduk menyaksikan pagelaran tari yang di
suguhkan oleh api unggun.
“aku ngantuk”
“masa ngantuk” telunjuk dan jempol gue mencoba membuka
kelopak matanya.
“iihh sakit”
“kok panas matanya? Kamu sakit?”
“……”
Benar perkiraan gue tenyata dia emang sakit, mungkin
kelelahan. Gue segera merapihkan tenda agar dia bisa beristirahat. Setelah rapih
dia masuk dan terlelap. Gue memutuskan untuk tetap terjaga sepanjang malam agar
terus tau tentang kodisi tubuhnya.
Bulan dan bintang malam ini begitu ramai seolah sedang dalam
kompetisi menunjukan siapa yang paling cantik. Angin lembah pun tak mau kalah
eksis menunjukan kehadirannya. Suatu perpaduan yang sangat bikin goyah untuk
masuk kedalam tenda dan menghangatkan diri di dalam sleeping bag.
Satu jam sekali gue masuk ke dalam tenda untuk mengetahui
kondisi tubuhnya, apakah lebih baik atau menjadi lebih buruk. Gelas kopi dan
roko menjadi pendengar yang baik saat gue bernyanyi dengan nada dasar c sama
dengan m minor alias mendingan ngga usah nyanyi sama sekali. Entah sudah berapa
kali gelas dan rokok tersebut bolak balik ke dokter tht selama gue nyanyi dari
gelap sampai matahari terbit. Sampai akhirnya kondisi tubuhnya membaik gue
putuskan untuk tidur sejenak.
8.00 am
Satu jam kurang lebih gue tidur, sungguh porsi tidur yang
sangat jauhdari kata sehat. Apalagi kemarin sehabis mendaki seharian dan di
tambah terjaga sepanjang malam di kesunyian malam yang dingin dan gelap sepi
benakku melayang pada kisah kita nya slank, lah apaan.
Saat membuka mata, pikiran gue di penuhi dengan pertanyaan
pertanyaan yang ingin sekali keluar dengan nada yang kasar dan keras karena hal
yang gue liat saat itu. Namun gue memilih tidak mengikuti keinginan gue
tersebut. Gue memilih untuk bangun, duduk, dan ngecengin belek yang lagi mojok
di ujung mata sampe salting.
“aku ga tau kalo kamu punya jersey chelsea, sejak kapan kamu
jadi suka bola perasaan pas sama aku kamu ga suka bola deh” ucap gue
mengomentari jersey yang dia kenakan.
“oh ini, ini punya angga”
Well pertanyaan gue dari pikiran pikiran gue tadi terjawab
dengan singkat padat dan jelas. Jelas menyakitkan.
Gue segera beranjak dan memasak makanan untuk sarapan. Karena
siang ini kami akan segera pulang dan kembali menjalankan rutinitas yang
membosankan. Ada hening yang panjang selama gue memasak, padahal saat ini dia
menemani gue sibuk mengontrol api dan memotong ini itu. Seperti nun mati yang
bertemu wau yang bertemu tapi tak saling sapa.
Makanan sudah siap, dalam sekejap pun habis mengilang di
dalam mulut kami. Tenda dan peralatan yang kami gunakan di camping ground pun
sudah lenyap masuk kedalam tas gue. Ini berarti saatnya kami pulang.
“kamu fotoin aku dong aku mau foto pake kertas nih”
“ishhh dasar ga usah naik sama aku lagi kalo besok masih
foto pake gaya begituan” jawab gue singkat padat dan jelas, jelas jutek. Karena
gue ga suka foto dengan metode kaya begitu.
Dia berdiri di depan pohon edelweis dengan memegang kertas
sambil tersenyum manis. Gue mundur sekitar 5 langkah lalu membidik kamera yang
gue pegang dan mengabadikan moment tersebut. Beberapa kali shutter gue pencet
dan terekam lah beberapa gambar yang bisa dilihat dan disimpan untuk kenang
kenangan.
Hari mulai siang, matahari pun kembali menjadi sosok jahat
seperti kemarin. Namun siang ini sangat jahat. Seolah menertawakan gue dan
memberi 223424 kali panasnya untuk membakar kulit dan hati gue karena sepanjang
perjalan turun tak ada satu kata pun yang terucap dari mulut kami berdua. Sampai
akhirnya kami tiba di bibir kawah yang dibawahnya penuh dengan batu batu yang
tersusun membentuk nama nama yang mungkin ada di buku kumpulan 25 juta nama
nama indah.
“kamu mau ga turun kebawah terus bikinin nama aku?”
“yaudah kalo itu mau kamu”
Segera gue turun ke dasar kawah mati berlari sekuatnya agar
segera sampai di dasar. Tangan gue cekatan mengumpulkan batu batu dan menyusun
sesuai alphabet namanya. Di atas sana dia tampak antusias memotret apa yang
baru saja gue lakukan untuknya. Gue segera kembali keatas dan melanjutkan
perjalan untuk pulang kerumah.
9:00 pm
Bisa antar kota antar provinsi melaju pelan keluar dari
terminal garut menuju depok. Gadis disamping gue nampak lelah dalam lelapnya. Gue
pun lelah namun bukan hanya lelah fisik namun lelah batin. Gue mengambil kamera
mencoba membunuh waktu melihat gambar gambar yang sempat kami abadikan. Beberapa
foto membuat gue tersenyum melihat kecerian yang ada di gambar. Namun, bibir
gue sekejap menutup, nafas berhenti beberapa detik, dan mata gue tak dapat
berkedip saat gue melihat foto yang diambil saat gue ada didasar kawah menyusun
namanya dari batu. Bukan. Bukan gue yang ada di dalam foto tersebut. Melainkan kertas
bertuliskan “angga” dengan background susunan batu yang membetuk nama seorang
gadis yang ada disamping gue. Kertas yang sama seperti yang gue foto saat di
depan pohon edelweis lengkap dengan jersey chelsea pemberiannya yang sama
seperti apa yg gue lihat ketika gue membuka mata selepas terlelap karena lelah
semalaman terjaga karena mengkhawatirkan kondisi fisik gadis yg saat ini
terlelap di samping gue.
Terima kasih papandayan, atas pelajaran yang sangat
berharga. Membuat fisik gue menjadi lebih kuat karena membawa beban yg sangat
berat untuk perlengkapan di camping ground, beban yang belom pernah gue bawa
sama sekali sebelumnya. Membuat mata gue lebih kuat terjaga karena semalaman
tidak tidur untuk terus memantau kondisi fisik seseorang yang gue khawatirkan
dan juga mengajarkan melihat apa itu hal yang menyakitkan. Terima kasih juga
telah mengajarkan apa itu kesabaran, keikhlasan dan keteguhan hati agar tetap
tersenyum walaupun itu pahit. Dan terimakasih juga papandayan telah memberikan
sebuah prinsip dalam hidup gue yaitu jangan pernah sekalipun mengharapkan hal
yang sudah pergi untuk kembali.
Terima kasih desember, kamu luar biasa.