Selasa, Maret 29, 2016

#TeamangTimangAnakkuSayang cerita ke-5



“Ah sia-sia aku datang kemari” ucapku sambil memukul stir mobil yang sedang mengarah menuju ke bandara Gewayantana. Hari ini aku akhirnya harus kembali pulang ke Jakarta, setalah 3 hari aku tidak terbang kemanapun dan hanya berkeliling Larantuka dengan berbekal secarik kertas yang aku dapat di bandara ketika baru saja tiba di kota ini. Kertas yang berisi informasi dari orang kepercayaanku, mengenai keberadaan adikku

Salah satu alasan aku selalu senang ketika terbang ke Larantuka adalah karena adikku. 13 tahun sudah dia menghilang setelah pertemuan terakhir saat paskah di kota ini. Dan moment paskah kemarin, kabarnya dia kembali datang kesini.

“lengkap sudah kesialanku”  aku tambah kesal setelah melihat rangkaian jarum pada arloji yang melingkar di tangan kiriku membentuk sudut 90 derajat sempurna pada sisi kiri. Aku harus tiba di bandara dalam 5 menit sebelum terlambat untuk melakukan berbagai persiapan sebelum terbang kembali ke Jakarta. Kaki kananku menginjak dalam-dalam pedal gas sedan hitam model terbaru yang sengaja aku sewa untuk berkeliling kota mencari adikku.

“Tuhan berasama orang-orang yang sial haha” aku berbisik pelan sambil menutup pintu mobil dan melemparkan kunci kepada petugas rental yang akan mengambil mobil ini. Aku segera bergegas melakukan persiapan yang akan dimulai tepat 2 menit lagi.


Hah!, kota ini lagi” aku mengangkat kedua tanganku ke udara, dan menggoyangkan sedikit pinggul akibat terlalu lama duduk di kursi kokpit selama perjalanan tadi. Wajah-wajah lesu hilir mudik di terminal kedatangan, wajah yang menggambarkan kekecewan karena harus kembali ke ibu kota dan melakukan rutinitas seperti biasanya.

“Sepertinya aku harus melakukan acara syukuran karena aku adalah salah satu manusia yang beruntung di dunia ini karena pergi dan pulang dipiloti oleh pilot yang sama” suara cempeng yang tidak asing terdengar di telingaku diikuti dengan sebuah senggolan bahu yang membuatku sedikit terhuyung ke samping.

“Rae? Kamu kembali ke Jakarta hari ini juga? Bukankah ada urusan di kupang katamu saat kita pertama kali bertemu di bandara Gewayantana.” Aku sedikit heran melihat wajah Rae yang berada dihadapanku saat ini.

“Rencana hanyalah sebuah rencana, Capt.” Ucapnya sambil kembali mengemut permen lollipop yang dari memenuhi mulutnya dan membentuk sebuah tonjolan disisi pipinya.

“Ya, rencana memang hanyalah sebuah rencana, aku selalu mempercayai takdir. Kamu percaya itu, Rae?”

“Tentu saja, Capt”

“Baik, kita mainkan sebuah permainan, jika memang takdirmu hari ini makan seafood gratis, maka terjadilah. Kepala atau ekor?” aku melemparka koin ke udara.

“Ekor!” rae berteriak tepat sebelum koin jatuh ke tanganku.

 Aku menangkap dan mengintipnya sedikit untuk mengetahui hasilnya. “Rae, sepertinya kamu harus menyetir hari ini”

...

Pemuda berpakaian formal berwana hitam yang berdiri tegap di samping pintu besar berukuran 3 meter segera membukakan pintu lebar-lebar saat aku dan Rae tinggal berjarak 5 meter dari pintu tersebut. Kami memberikan senyum kepada pemuda itu dan dibalas dengan sapaan hangat “Selamat datang, Silahkan.” Sambil membungkukkan sedikit badannya ketika kami melintasi pintu besar itu. Di dalam, kursi dan meja berwarna coklat tua beralas kain putih polos disusun rapih di berbagai tempat. Lampu-lampu besar menggantung dengan bohlam berwarna coklat. Di samping lampu besar itu, terhampar ratusan lampu kecil berwarna putih. Menghasilkan efek cahaya yang tidak begitu terang namun tidak begitu remang. Membuat mata setiap orang yang berada di sini sangat nyaman.
Kami duduk disalah satu meja berukuran sedikit besar daripada meja yang lainnya.

Dua orang pelayan wanita segera menghampiri kami dan menuangkan wine dengan sangat hati-hati. Rae, sepertinya tidak terbiasa dengan tepat semacam ini. Untung saja dia mau aku paksa untuk berganti pakaian formal sebelum menuju ke tempat ini. Jika tidak, mungkin dia akan balik kanan ketika baru sampai di pintu besar tadi.

“Sepertinya kamu sudah layak jadi artis, Capt. Semua orang yang ada sini mengenalmu, bagaimana mungkin.” Leher Rae sibuk menoleh ke segala arah, melihat orang-orang tersenyum kepadaku dan memberikan sapaan hangat.

“Kamu masih ingat apa yang aku katakan di bandara tadi, Rae, mengenai takdir” aku mencondongkan badan ke depan wajahnya.

“Iya kenapa?” Rae kebingungan dengan wajah yang semakin tampak polos.

“Kamu tau,Rae. Sebenarnya gambar koin yang menghadap keatas tadi kepala, bukan ekor. Dan sebenenarnya takdir kamu sudah ditentukan saat kita bertemu di bandara hari ini. Bukan pada saat permainan koin.” Aku tersenyum, lebih tepatnya senyum meledek.

“Maksudnya?” Rae, semakin bingung, raut wajahnya semakin tanpa ekspresi.

“Hari ini adalah hari ulang tahunku , Rae. Dan semua yang hadir disini adalah kerabatku.” Aku tertawa lepas setelah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi hari ini.

“Captain!”

Selasa, Maret 22, 2016

#TeamMangTimangAnakkuSayang cerita ke-3



“Boleh pinjam korek?”

“Ini, silahkan”

Seorang pemuda berambut keriting yang sedari tadi mondar-mandir di sampingku, akhirnya berani mengutarakan niatnya. Sudah sekitar 15 menit dia mondar-mandir dengan sebatang rokok putih terselip diantara jari telunjuk dan jari  tengah. Aku sendiri sudah tidak heran melihat orang sungkan menyapaku,  mungkin aku harus mengubah bentuk wajahku sedikit. Eh, tapi, setelah aku pikir-pikir, ada satu orang yang tanpa ragu dan sungkan untuk menyapaku. Yak, gadis yang sempat berbincang singkat denganku di bandara kemarin. Ah sial, aku lupa menanyakan namanya.

“Terima kasih koreknya” lamunanku buyar setelah pemuda berambut keriting mengembalikan korek yang dia pinjam. “Iya sama-sama” jawabku singkat sambil tersenyum agar dia tidak takut denganku. Kemudian sang pemuda pergi ke arah Katedral Larantuka yang berada tepat di depanku, dan dengan sekejap menghilang dalam kerumunan orang – orang yang akan menyaksikan lebih dekat patung Maria yang akan diarak. Disandingkan dengan sebuah peti mati. Peti mati ini bagian yang tak terpisahkan darinya. Peti ini hanya dikeluarkan sekali setahun.Uniknya, patung Maria dan petinya disimpan di tempat yg berbeda. Patung Maria disimpan di lemari jati di belakang altar Kapel Tuan Ma, sedangkan peti mati ini disimpan di Kapel Tuan Ana, yang letaknya di ruas jalan yang sama berjarak satu kilometer. Warga Larantuka menyebut patung Maria sebagai Tuan Ma dan peti mati itu Tuan Ana. Seperti Maria, peti mati itu misterius. Peti  tersebut tak pernah dibuka ratusan tahun. Entah ada apa di dalamnya, tak pernah ada yang tahu. Dari mana peti mati kuno itu berasal, tabu membicarakannya. Ada kepercayaan, siapa berani membuka, ia bakal mati seketika.

Peti mati Tuan Ana dipikul empat orang yang mengenakan kostum putih gaya Portugis abad pertengahan dan topi kerucut merah. Wajah mereka tertutup. Hanya ada celah yang memperlihatkan mata. Mereka adalah orang- orang yg bernazar khusus. Mereka memerankan Nikodemus, yang menurunkan Yesus dari salib lalu memakamkannya di Bukit Golgota. Nikodemus adalah anggota majelis Farisi yang diam-diam mengasihi ajaran sang Guru. Ia membawa campuran minyak mur dan gaharu. Dan mengafani Isa dengan kain linen. Warga Larantuka dengan lafal lokal menyebut para Nikodemus itu Lakademu.

“Rokokmu dihisap angin capt”

Rokok yang menyala terselip diantara jari telunjuk dan jari manis, terbakar habis karena tertiup angin tanpa aku hisap sama sekali, karena lebih fokus menyaksikan arak-arakan di depan Katedral.
Aku segera mencari sumber suara tersebut. Tapi tak juga menemukan darimana asalnya. “ah sial! siapa yang menggodaku” aku kesal sendiri karena tidak berhasil menemukan orang itu. Tapi, bukan hal sulit bagiku untuk mengira-ngira siapa yang menanggilku. Tidak ada yang memanggilkku dengan panggilan “capt” di kota ini selain para cabin crew dan pegawai bandara. Ditambahan lagi suara ini suara perempuan yg tidak begitu asing. Makin mengerucut tebakanku kepada para cabin crew. Mataku terus menyapu kearah kerumunan yang ada disekitarku, mencari gadis yang wajahnya dapat aku kenali. Tapi nihil.

“Bukankah, seorang penerbang harus memiliki mata yang sehat dan berkemampuan baik, Capt. Masa mencari aku saja tidak ketemu haha”

Sumber masalah muncul dengan sendirinya disampingku. Gadis yang kemarin bertemu denganku di Bandara. Dengan mudah aku mengenalinya. Rambut pendek sebahu berwarna kecoklatan, kacamata berbingkai hitam tebal yang menutupi alisnya yang lebat. kaus dengan model dan gambar yang sama dengan yang dia gunakan kemarin, yang berbeda hanya warnanya saja. Sepasang sepatu sneakers berwarna coklat muda dengan kombinasi warna putih yang lebih dominan mengiasi kaki mungilnya.

‘cekrek’

Aku belum memberi tanggapan atas penyatannya, tapi, suara kamera mirrorless sehabis mengambil gambar yang dibidik kearah wajahku, membuatku tersadar. Harus aku akui, beberapa detik sebelum ini, aku memperhatikan dengan seksama penampilan dia hari ini. 

“Kamu sudah iseng memanggil lalu bersembunyi, sekarang diam-diam memotret. Habis ini apalagi?”

“Haha, kamu terlihat lebih muda, capt, tanpa menggunakan seragam.”

“Oh ya? Benarkah? Kamu tidak sedang mencoba untuk menghibur om-om agar kamu bisa pulang ke Jakarta dengan tiket pesawat gratis kan?”

“Tidak, capt. Tapi lebih tepatnya aku mau tiket Jakarta-Honduras gratis”

“Baiklah kalau begitu, sini kameramu”

Aku mengambil kamera dari tangannya, kemudian membalik layar untuk mengambil foto selfie. 1, 2, 3, 4, foto berhasil diambil, dengan gaya yang berbeda dengan latar kerumunan orang yg sedang arak-arakan dan dihiasi lampu temaram yang menempel di dinding katedral. Dan ini pertama kalinya aku berfoto di Larantuka.

“Lihat, capt. Benarkan kamu tampak lebih muda?” dia menyodorkan lcd kameranya ke wajahku.

Terpampang wajah kami berdua di lcd kamera tersebut. Dengan latar jalanan di depan katedral yg ramai dengan arak-arakan Lakademu.

“Aku harus segera pergi” kataku singkat sambil menyerakan kamera miliknya.

“Tapi, Capt tung…” belum selesai kalimat yang ia ucapkan tetapi aku sudah berlari menjauh darinya.

Sial. Sial. Sial!!!!

Selasa, Maret 15, 2016

#TeamMangTimangAnakkuSayang

Jakarta, sore ini sungguh cantik. Matahari yang mulai undur diri meninggalkan warna orange yang terlukis indah di langit. Membuat burung-burung yang terbang seakan bahagia dengan apa yang matahari tinggalkan untuk menemani tiap kepakan sayap menuju tempat mereka beristirahat. Rombongan burung yang baru saja melintas dihadapanku membuatku tersenyum, dikala aku sibuk dengan tugasku memencet tombol di panel-panel.

Panel-panel penuh tombol dengan lampu berwarna merah, kuning dan hijau dengan tuas besar ditengah menjadi pemandangan sehari-hari. Termasuk hari ini. Seorang lelaki dengan tubuh tegak 170 cm disampingku sibuk dengan pulpen dan kertas mengecek setiap persiapan. Sambil sesekali memencet tombol yang ada di panel depan dan atas kepalanya. Aku memperhatikan sesekali sambil ikut sibuk memencet tombol di panel persis seperti yang ia lakukan. Kesalahan sekecil apapun tidak bisa ditolerir. Safety first no compromise.

 “QG 152, good evening heading 120 climb to flight level 330 identified departure.” Suara dari control 121.2 memanduku untuk meneruskan penerbangan menuju Larantuka. “Clear climb to 330, heading 120 QG 152.” Aku merespon panduan dari menara control sambil terus sibuk dengan panel-panel berwarna warni ini. 

Ini  bukan pertama kalinya aku menerbangkan ribuan ton besi menuju Larantuka, “Kota seribu Kapel”. Sebuah kecamatan di kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara timur. Sebuah kota yang sangat indah, dikelilingi laut yang biru, gunung yang megah, masyarakat yang ramah, kota yang cocok untuk menenangkan diri. Pesawat Airbus A320 berkapasitas 150 penumpang terisi penuh oleh wisatawan. Tak heran, karena esok adalah Paskah. Wisatawan, baik lokal maupun mancanegara umumnya ramai datang pada hari raya keagamaan Jumat Agung dan Paskah. Karena sejak lama terdapat sejumlah tradisi kegiatan dalam memperingati hari raya keagamaan umat Katolik dan Kristen tersebut. Pada pagi hari terdapat prosesi arak-arakan kapal menelusuri selat di pinggir kota. Kegiatan ini diikuti puluhan kapal yang dipenuhi ratusan bahkan ribuan pengunjung. Prosesi lalu berlanjut pada malam hari, dimana para peziarah mengikuti kegiatan jalan salib mengelilingi sebagian wilayah kota Larantuka. Masih teringat jelas bagaimana aku dibangunkan cahaya sunrise di hotel tempatku menginap yang berada tepat di depan Pantai Weri. Membuatku ingin terus kembali ke kota ini.

“QG 152, contact control 121.2.”
“Good evening  Jakarta control 121.2, QZ 152 passing one zero thousand.”
“QG 152, identified approach turn left heading 120 continue climb.”

Airbus A320 melesat di langit meninggalkan Jakarta dan hiruk pikuknya.

“Capt, semalam kemana kok ga ikut makan malam perpisahan crew? Seru banget loh acaranya.” Pria bertubuh tegap 170 cm disampingku mengajukan pertanyaan  yang membuatku agak kebingungan untuk menjawabnya. “oh semalam cape banget abis narik 2 rit” jawaban yang sengaja aku buat menjadi lelucon agar tidak terus menerus timbul pertanyaan yang lainnya. Dan terbukti dia merespon dengan tertawa masam.

Sebenarnya, alasan aku tidak menghadiri  makan malam perpisahan salah satu crew adalah karena yang mengadakan perpisahan itu mantan pacarku. Dan aku memilih untuk tidak bertemu untuk terakhir kalinya agar tidak ada lagi pertemuan selanjutnya. Selama ini jika aku menghadiri suatu pertemuan yang bertajuk pertemuan terakhir  justru itu menjadi awal untuk pertemuan berikutnya. Dan aku mencoba untuk mematahkan pola yang selama ini berlaku dalam hidupku. Dan semoga saja aku berhasil mengubah polanya. Ya, semoga.

“QZ 152 wind to 250 degrees 10 knot clear to land 25 left.”
“Clear to land 25 left QZ 152.”

Airbus 320 yang aku terbangkan sudah mendapat izin dan rute dari menara control untuk mendarat di bandara Gewayantana, Larantuka. Aku kembali sibuk memainkan panel-panel dan tuas sambil memberi instruksi kepada cabin crew.

“Flight attendant, prepare for arrival.”
“Cabin ready for landing, Capt.”
“Flight attendant, on station secured for landing.”

Roda Airbus A320 perlahan bergesekan dengan aspal landasan pacu bandara Gewayantana, sebuah bandara yang memiliki panjang landasan pacu 900m dan lebar 30m. Suara mesin semakin menderu bersamaan dengan laju pesawat yang semakin melambat di landasan pacu. Saat mesin sudah mati total di parking gate aku kembali memberi isyarat kepada cabin crew “Flight attendant, disarm slide and crosscheck.” Para cabin crew segera bersiap dengan sigap untuk melayani semua penumpang yang akan turun.

Aku menggeret koper menuju pintu keluar bandara sambil menyalakan handphone dan melihat ada beberapa pesan masuk dan segera memasukan handphone kedalam saku karena tidak ada pesan yang penting. “Capt!” suara perempuan terdengar di telingaku, asal suara itu dari belakang, dan aku reflek menoleh kearah sumber suara itu. Seketika seorang perempuan berlari kearahku, tapi siapa dia? sepertinya aku mengenalnya?