“Ah sia-sia aku datang kemari” ucapku sambil memukul stir
mobil yang sedang mengarah menuju ke bandara Gewayantana. Hari ini aku
akhirnya harus kembali pulang ke Jakarta, setalah 3 hari aku tidak terbang
kemanapun dan hanya berkeliling Larantuka dengan berbekal secarik kertas yang
aku dapat di bandara ketika baru saja tiba di kota ini. Kertas yang berisi
informasi dari orang kepercayaanku, mengenai keberadaan adikku
Salah satu alasan aku selalu
senang ketika terbang ke Larantuka adalah karena adikku. 13 tahun sudah dia
menghilang setelah pertemuan terakhir saat paskah di kota ini. Dan moment
paskah kemarin, kabarnya dia kembali datang kesini.
“lengkap sudah kesialanku” aku tambah kesal setelah melihat rangkaian jarum
pada arloji yang melingkar di tangan kiriku membentuk sudut 90 derajat sempurna
pada sisi kiri. Aku harus tiba di bandara dalam 5 menit sebelum terlambat untuk
melakukan berbagai persiapan sebelum terbang kembali ke Jakarta. Kaki kananku
menginjak dalam-dalam pedal gas sedan hitam model terbaru yang sengaja aku sewa
untuk berkeliling kota mencari adikku.
“Tuhan berasama orang-orang yang
sial haha” aku berbisik pelan sambil menutup pintu mobil dan melemparkan kunci
kepada petugas rental yang akan mengambil mobil ini. Aku segera bergegas
melakukan persiapan yang akan dimulai tepat 2 menit lagi.
…
Hah!, kota ini lagi” aku
mengangkat kedua tanganku ke udara, dan menggoyangkan sedikit pinggul akibat
terlalu lama duduk di kursi kokpit selama perjalanan tadi. Wajah-wajah lesu
hilir mudik di terminal kedatangan, wajah yang menggambarkan kekecewan karena
harus kembali ke ibu kota dan melakukan rutinitas seperti biasanya.
“Sepertinya aku harus melakukan
acara syukuran karena aku adalah salah satu manusia yang beruntung di dunia ini
karena pergi dan pulang dipiloti oleh pilot yang sama” suara cempeng yang tidak
asing terdengar di telingaku diikuti dengan sebuah senggolan bahu yang
membuatku sedikit terhuyung ke samping.
“Rae? Kamu kembali ke Jakarta hari
ini juga? Bukankah ada urusan di kupang katamu saat kita pertama kali bertemu
di bandara Gewayantana.” Aku sedikit heran melihat wajah Rae yang berada
dihadapanku saat ini.
“Rencana hanyalah sebuah rencana,
Capt.” Ucapnya sambil kembali mengemut permen lollipop yang dari memenuhi
mulutnya dan membentuk sebuah tonjolan disisi pipinya.
“Ya, rencana memang hanyalah
sebuah rencana, aku selalu mempercayai takdir. Kamu percaya itu, Rae?”
“Tentu saja, Capt”
“Baik, kita mainkan sebuah
permainan, jika memang takdirmu hari ini makan seafood gratis, maka terjadilah.
Kepala atau ekor?” aku melemparka koin ke udara.
“Ekor!” rae berteriak tepat
sebelum koin jatuh ke tanganku.
Aku menangkap dan mengintipnya sedikit untuk
mengetahui hasilnya. “Rae, sepertinya kamu harus menyetir hari ini”
...
Pemuda berpakaian formal berwana
hitam yang berdiri tegap di samping pintu besar berukuran 3 meter segera
membukakan pintu lebar-lebar saat aku dan Rae tinggal berjarak 5 meter dari
pintu tersebut. Kami memberikan senyum kepada pemuda itu dan dibalas dengan
sapaan hangat “Selamat datang, Silahkan.” Sambil membungkukkan sedikit badannya
ketika kami melintasi pintu besar itu. Di dalam, kursi dan meja berwarna coklat
tua beralas kain putih polos disusun rapih di berbagai tempat. Lampu-lampu
besar menggantung dengan bohlam berwarna coklat. Di samping lampu besar itu,
terhampar ratusan lampu kecil berwarna putih. Menghasilkan efek cahaya yang
tidak begitu terang namun tidak begitu remang. Membuat mata setiap orang yang
berada di sini sangat nyaman.
Kami duduk disalah satu meja
berukuran sedikit besar daripada meja yang lainnya.
Dua orang pelayan wanita
segera menghampiri kami dan menuangkan wine dengan sangat hati-hati. Rae,
sepertinya tidak terbiasa dengan tepat semacam ini. Untung saja dia mau aku
paksa untuk berganti pakaian formal sebelum menuju ke tempat ini. Jika tidak,
mungkin dia akan balik kanan ketika baru sampai di pintu besar tadi.
“Sepertinya kamu sudah layak jadi
artis, Capt. Semua orang yang ada sini mengenalmu, bagaimana mungkin.” Leher Rae
sibuk menoleh ke segala arah, melihat orang-orang tersenyum kepadaku dan
memberikan sapaan hangat.
“Kamu masih ingat apa yang aku katakan
di bandara tadi, Rae, mengenai takdir” aku mencondongkan badan ke depan
wajahnya.
“Iya kenapa?” Rae kebingungan
dengan wajah yang semakin tampak polos.
“Kamu tau,Rae. Sebenarnya gambar
koin yang menghadap keatas tadi kepala, bukan ekor. Dan sebenenarnya takdir
kamu sudah ditentukan saat kita bertemu di bandara hari ini. Bukan pada saat
permainan koin.” Aku tersenyum, lebih tepatnya senyum meledek.
“Maksudnya?” Rae, semakin
bingung, raut wajahnya semakin tanpa ekspresi.
“Hari ini adalah hari ulang
tahunku , Rae. Dan semua yang hadir disini adalah kerabatku.” Aku tertawa lepas
setelah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi hari ini.
“Captain!”