Jumat, April 15, 2016

Lingkar Tulisan End



Aku percaya, bahwa Tuhan merupakan produser sekaligus sutradara yang paling tahu lakon apa yang harus aku mainkan lagi. Aku tahu, bahwa jatuh cinta adalah hal yang tak bisa kau pilih, tapi setidaknya kau dibolehkan memilih untuk tetap jatuh cinta, atau pergi sebelum kau berada di episode drama patah hati paling receh.
Maka aku memilih untuk pergi, sebelum ditelan mentah-mentah patah hati yang paling asing.

Aku melirik sekilas ke arah jam yang tertera di telepon selularku, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh menit. Itu berati dua puluh menit lagi aku sudah harus bisa memejamkan mata tanpa berpikir apa-apa. Because, nothing good happens after midnight, prinsipku. Lewat tengah malam, pikiranmu akan berpesta pora, dan kau mau tak mau akan diajak tanpa sanggup mengucapkan tidak. Seperti aku sekarang, mencoba mengerti mengapa Aaron tidak menepati janjinya untuk bertemu dan menjelaskan segala hal yang menjadi teka-tekinya. Mungkin memang benar, ada beberapa hal yang harusnya dibiarkan tak dijelaskan, dibiarkan mengambang seperti plastik alfamart yang mengambang di tepi pantai Ancol. Tapi, bukannya dia seharusnya menghubungiku untuk sekadar bilang “maaf, aku tidak bisa menepati janji?” bahkan dia tidak berpikir aku berhak mendapatkan sebuah kata maaf, apalagi cinta? Sebelum aku masuk dalam fase yang disebut patah hati, aku memilih pergi. Jatuh cinta ini mungkin terlalu dini, dan aku harus buru-buru terbangun sebelum dilalap mimpi-mimpi.

Aku masih merasa yakin, dia akan datang waktu itu. Sebelum akhirnya kesabaranku meruntuh pada pukul dua siang.

To: Aaron
Kamu di mana? Sepertinya kamu sudah makan siang, jam makan siangku sudah habis.
Take care of yourself. Bye.

Sent.




6 bulan kemudian.


“Bu..”, Wawan, salah satu office boy kantor tiba-tiba menghampiriku “ini ada paket buat Ibu dari Mailing room. Katanya penting”. Hah? Keningku mengerut, sepertinya aku tak ada belanja online akhir-akhir ini. Kenapa bisa ada paket? Aku buru-buru menandatangani tanda terima untuk Wawan. “Trus ngapain kamu masih berdiri?” setelah kuberikan tanda terima, namun dia masih berdiri di sampingku.
“Mau tau, Bu isinya apa. Habisnya kata yang nganter penting. Harus cepat-cepat dikasih ke Ibu”, lanjut si Wawan.
“Kok kamu jadi kepo sih, Wan? Sana balik” usirku.

Sepeninggal Wawan, aku berusaha mengingat apa ada pekerjaan yang aku terlewati? Kalaupun ada berkas yang harus aku tanda tangani fisik, pasti sebelumnya ada pemberitahuan melalui email, karena paket yang dibawa Wawan tadi tidak berat, sudah pasti bukan barang belanjaan onlineshop. Malah terbungkus amplop cokelat biasa berukuran A4. Sayangnya, hanya tertera nama dan alamat kantorku sebagai penerimanya. Tak tertulis siapa pengirim paket ini.
Isinya ternyata sebuah tiket penerbangan PP menuju Kupang, secarik kertas, dan sebuah gantungan kunci miniatur pesawat.

“Dear Rae,
Safe flight”

That’s it.

Siapa yang cukup gila ngasih tiket gratis PP ke Kupang pas weekend ini? Aku membayangkan ada psikopat yang mengincarku di bandara kedatangan nanti, lalu keesokkan harinya aku muncul di koran Lampu Hijau dengan Headline “Telah Ditemukan Jasad Seorang Perempuan berumur awal Tigapuluhan karena Tergiur Tiket Gratis ke Kupang Akhirnya Disekap oleh Psikopat Gila”.
Semua psikopat awalnya ramah, kan? Dia bahkan mengucapkan “Safe Flight” apa jangan-jangan nanti pesawat yang aku tumpangi akan dibajak? Mengingat tiket pesawat yang dikirim adalah tiket VIP. Siapa tahu, kan? Pembajakan pesawat sedang marak saat ini, walaupun bukan di Indonesia sih, tapi kan selalu ada kemungkinan?
Oke, mungkin aku terlalu banyak nonton serial The Mentalist. Tapi ini sungguh menggiurkan dan menakutkan di saat yang sama. Jumat ini tinggal dua hari lagi dan aku harus memutuskan pergi atau tidak ke Kupang, lalu tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah gantungan kunci miniatur pesawat.

*****

“Terima Kasih, Captain” ucapku pada Captain Mesakh, pilot yang bertugas mengantarkanku ke Bandara El Tari, Kupang. Ritualku tak pernah berubah. Meski kadang, ritual ini menjadi jembatan untuk kembali mengingat Aaron.
“Sama-sama nona, Tuhan menyertai”, balasnya. Orang Kupang memang senang menambahkan kalimat Tuhan menyertai, seperti doa agar kita semua selamat dalam lindunganNya. Kurang lebih seperti itu. Dan tenang, tidak usah sedih “Ibu Negara” kali ini masih setia pada kardus indomie yang berisi oleh-oleh untuk teman-temannya.

Maka di sinilah aku, Kupang. Aku memutuskan untuk pergi, persetan dengan segala pikiran jelek. Aku menikmati penasaran ini. Toh, kalau memang harus mati, aku mati di tanah tempat aku menghabiskan masa kecilku, not bad.
Sebuah mobil hitam berplat nomor DH yang menunjukkan bahwa aku memang berada di Kupang kadang sedikit membuat aku tersenyum. Sudah lama aku tidak ke Kupang. Seperti apa perubahannya pun aku tak pernah membayangkan akan sedrastis ini, walaupun suhu udaranya aku yakin tidak berubah. Panas, menyengat.

“Son mau pi tidor di Tanta Lily sa ko, Rae?” Orang yang bertugas menjemputku ini bertanya, mengapa aku tidak menginap saja di rumah Tante Lily, teman dekat “Ibu Negara”. Jadi, mau tidak mau aku pasti dipaksa dijemput, lalu diinapkan di rumah temannya ini.

“Son usah Bapa, be pi hotel sa. Ko su bayar ju. Nanti bar be pi rumah sana” balasku menggunakan bahasa Kupang yang fasih, menolak dengan alasan hotel sudah dibayar duluan, meski nanti akan tetap pergi mengunjungi Tante Lily.

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam ketika aku sampai di salah satu kamar hotel terbaik di Kupang, dan sebelum jam berdentang dua belas kali, aku sudah buru-buru terlelap.


I can’t stand to fly
I’m not that naive
I’m just out to find
The better part of me..

Terdengar lagu Superman dari Five for Fighting menandakan ada panggilan masuk. Rasanya aku baru tidur sebentar, tapi terik matahari sudah masuk saja di sela-sela gorden kamar. Nomor tak dikenal memanggil. Okay, this is bad.

“Halo”, sapaku antara deg-degan dan mengumpulkan nyawa sambil mengucek-ngucek mata. Kali aja ada belek sebesar harapan naik gaji tahun ini.

Morning, Rae. Sarapan yuk?” suara pria di ujung sana termasuk renyah, crispy seperti kulit ayam yang suka dijual di gerai fastfood, menyapaku.

“Ini siapa?” Enak saja, main mengajak sarapan.

“Baru juga enam bulan, Rae. Kamu sudah melupakan Captain terganteng di seluruh bandara seIndonesia?”

“Aaron?” kataku seolah tak percaya. “Kamu di mana? Di Kupang? Jadi paket itu, tiket ini, kamu yang kirim?” percayalah, aku tidak jago menebak tapi, siapa lagi yang tidak tahu malu self claimed dirinya sendiri selain Aaron? Kuberondong pertanyaan yang harusnya, dari awal aku sudah tahu jawabannya.

“Turun yuk, sarapan. Aku sudah di bawah. Menunggumu”.


****
Secangkir teh manis hangat tersaji di depanku dan Aaron yang sengaja kami pesan di resto hotel tempatku menginap. Mungkin aku akan mengidap diabetes akut setelah meminum teh ini, manis karena gulanya dan manis karena janji-janji Aaron yang telah lalu. Sudah 15 menit lamanya kami berdua hanya saling terdiam, menunduk sambil sibuk mengaduk cangkir teh masing-masing.

“Maaf, Rae” Aaron memecah keheningan dengan sebuah kalimat yang aku tidak tau maksudnya. Ya, karena bagiku Aaron telah banyak melakukan kesalahan.

“Maaf, untuk apa?” jawabku singkat, berharap dia menyadari telah banyak kesalahan yang dia lakukan.

“Maaf untuk kejadian yang sampai harus membuatmu mengirimkan pesan ‘Kamu di mana? Sepertinya kamu sudah makan siang, jam makan siangku sudah habis.
Take care of yourself. Bye.’

Hahaha” aku tertawa seketika mendengar ucapan Aaron yang hapal isi pesan yang aku kirimkan beberapa waktu lalu bahkan sampai kata ‘bye’ nya dia ucapkan juga. Dan intonasi suaranya diucapkan seperti aku yg sedang berbicara.

“Tidak mirip ya? Makanya kamu tertawa” Aaron menggaruk-garuk kepalanya.

“Sangat tidak mirip”

“Baiklah, aku akan berusaha lebih keras lain kali. Tapi, Rae. Intinya aku sungguh-sungguh meminta maaf. Dan aku akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Jadi begini, Rae.”

***
Mataku fokus memperhatikan tiap wajah yang baru saja tiba di Bandara Soetta, mencari sosok perempuan yang selama ini aku cari. Ya, orang kepercayaanku yang menelpon tadi pagi memberi info kalo dia ada diantara salah satu penumpang yang tiba dari Dubai. Demi dirinya aku membatalkan sepihak janji dengan Rae, padahal janji itu sangat penting karena aku akan meluruskan kesalahpahaman ketika aku ulang tahun beberapa waktu lalu. Semua aku lakukan demi adikku. Yang kini dia berada tepat di hadapanku. Aku memeluknya dengan erat, berharap dia tidak akan meninggalkanku kembali. Adikku ini sebenernya bukannya adik kandung ataupun adik sepupu. Adikku ini adalah adikku. Sebuah nama yang aku berikan untuk perempuan yang selama ini aku nantikan kehadirannya. Yang selalu aku cari keberadaannya.

Aku memutuskan untuk ikut dengannya menetap dengannya di Malang. Hari-hariku terasa sangat bahagia bersama adikku. Tapi terasa hampa, seperti ada yang hilang dari yang seharusnya terjadi. Euphoria kehadiran dan kembalinya adikku hanya terasa seminggu setelah kedatangannya. Ragaku disini, tapi jiwaku entah dimana. Hingga suatu sore dibulan ke 5 aku bersamanya terjadi percakapan yang menampar akal sehatku.

“Aaron”

“Ya, kenapa?”

“Pergilah, tempatmu bukan disini. Kembalilah. Menemukanku, dan hidup bersamaku itu hanya ambisimu. Bukan panggilan hati kecilmu. Pergilah.”

***
“Itu lah, Rae yang sebenarnya terjadi. Sekarang aku kembali ke tempat asalku. Kembali ke tempat seharusnya aku berada. Kembali pada hati yang selama ini aku nanti”





Epilog.

Aaron adalah sebuah rencana Tuhan yang kupikir bisa menjadi rumah, namun ternyata dia hanyalah sebuah tempat singgah yang tak bisa disanggah. Hanyalah sekedar bagian dari sebuah perjalanan pendek. Aku tahu, aku telah jatuh hati padanya, tapi manusia boleh memilih. Dan aku memilih untuk patah.

Selasa, April 05, 2016

#TeamMangTimangAnakkuSayang Cerita ke-7



“Tididit tididit tdidit” suara paling menggangu seluruh orang di dunia ini. Suara yang selalu hadir di pagi hari ketika seluruh umat manusia sedang asik meraih mimpinya, tidur. Aku berusaha membuka mataku perlahan, melawan sinar matahari yang masuk dari jendela, menembus kain hordeng tipis yang entah berapa kali dalam sehari dicuci oleh assisten rumah tanggaku, karena tampak selalu putih dan bersih tanpa noda. Tanganku mencari sumber suara penggangu salah satu nikmat manusia di dunia dan lekas mematikan fitur menyebalkan itu.

Masih di tempat yang sama, aku berpikir bagaimana caranya aku pagi ini bisa terbaring di kamarku, sedangkan seingatku, aku mabuk berat semalam. Yang aku ingat aku terbaring menatap langit penuh bintang di helipad salah satu hotel berbintang di Jakarta, yang namanya pun aku tidak ingat. Aku berusaha merunut kejadian demi kejadian tapi, tak juga berhasil. Ingatanku terus memunculkan gambaran-gambaran kejadian beberapa hari lalu, ketika Rae pulang duluan saat pesta ulang tahunku. Ya, rae tampak tidak nyaman dan akhinya memutuskan untuk pulang. Aku tahu dari raut wajahnya ketika aku harus bersikap baik dan bahagia ketika salah satu anak pemilik resto tempat aku melangsungkan acara, datang tiba-tiba. Aku yakin, orang tuanya yang duduk di meja paling pojok yang memberitahu tentang acara itu, karena sudah lama dia tertarik denganku, itu yang aku tau.

“Lucu juga” aku tersenyum tipis sambil melipat kedua tanganku ke atas dan menggunakannya sebagai bantalan kepala. Wajah kesal rae masih tergambar jelas, dan kesalahpahaman itu beberapa hari lalu membuatku gila, tapi pagi ini, semua mejadi lucu. Kejadian ditambah waktu adalah komedi kehidupan, dan itu benar adanya. kejadian ditambah waktu adalah rindu.

“Apa aku telpon saja?” aku bergumam pelan. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi bertemu Rae, mendengar kabarnya pun tidak. Aku pun belum menghubunginya sama sekali, aku hanya menyesal dan merasa bersalah, namun tidak mengungkapkannya, hanya memendam dan gila sendirian. Aku lebih baik dihadapkan dengan awan cumulonimbus atau badai petir dalam kabin pesawat Air Force One berisikan presiden amerika dan staffnya daripada berurusan dengan masalah seperti ini.

Aku mengetik nama Rae di handphone dan memencet tombol virtual berwarna hijau. Entah setan apa yang pagi ini merasukiku sehingga aku punya keberanian untuk melakukan hal ini. Nada demi nada “tutt” terdengar sampai akhinya suara perempuan terdengar “nomer yang anda tuju sedang sibuk, silahkan coba beberapa saat lagi.”

Entah raja jin darimana sekarang yang merasuki diriku sampai aku berucap “Baiklah aku coba sekali lagi” setelah mendengar suara mesin penjawab yang merespon dan kembali memencet tombol virtual berwarna hijau. Nada demi nada “tutt” kembali terdengar kembali dan lagi-lagi suara perempuan yang terdengar “nomer yang anda tuju sedang sibuk menunggu telpon captain aaron, hai capt” aku kaget, suara template mesin penjawab telpon tidak seharusnya begitu. Aku terdiam beberapa saat dan kemudian menjauhkan handphone dari telinga dan melihat layarnya untuk memastikan tersambung atau tidaknya panggilan telpon kali ini. “tersambung, tersambung” aku berteriak kegirangan dan kembali meletakan handpohe di telinga.

“Halo Rae, sepagi ini kamu sudah berani mengusikku ya”

“Hahaha, sepertinya aku menciuma bau-bau kebahagian pada pagi harimu ini capt, apakah itu karena kamu mendengar suaraku? Sampai harus berteriak tersambung-tersambung”

“Diam Rae, jangan terus menggodaku. Butuh keberanian dan tekad untuk aku menelponmu”

“Memangnya ada apa capt?”

“Ada yang harus aku bicarakan denganmu Rae, bisakah kita bertemu siang ini? Jikalau kamu sibuk, aku bisa ke kantormu, aku hanya butuh 5 menit untuk menjelaskan apa yang ingin aku jelaskan dan kamu tidak boleh menolak permintaanku ini”

“Baiklah, capt. Kamu bisa datang ke kantoru hari ini pada saat jam makan siang. Maaf capt, aku harus meeting sekarang. Sampai jumpa nanti siang, capt”

Telpon dimatikan sepihak oleh Rae tanpa sempat memberikan aku kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan. Aku bergegas untuk mandi, beranjak dari tempat tidur dengan semangat, untuk bertemu dengan Rae di kantornya dan mejelaskan kesalahpaaman diantara kita dan meminta maaf. Baru beberapa langah aku melangah aku kembali ke kasur dan mejawab handphone yang berdering keras, karena aku pikir itu pasti dari Rae.

“Halo, capt. Maaf mengganggu pagi-pagi” suara lelaki diujung telpon membuatku mejauhkan handphone beberapa centi dari telinga, kemudian menaruhnya ditempat semula.

“Ya, ada apa?” jawabku malas.

“Pagi ini, jam 11, penerbangan dari Dubai”

“Segera urus segala persiapan, dan kabari aku secepatnya mengenai update selanjutnya”

“Baik capt”

Aku meraih kunci mobil dan berlari ke garasi, aku tidak punya banyak waktu lagi. Dan kenapa aku harus selalu berurusan dengan waktu.