Aku percaya, bahwa Tuhan merupakan
produser sekaligus sutradara yang paling tahu lakon apa yang harus aku mainkan
lagi. Aku tahu, bahwa jatuh cinta adalah hal yang tak bisa kau pilih, tapi
setidaknya kau dibolehkan memilih untuk tetap jatuh cinta, atau pergi sebelum
kau berada di episode drama patah hati paling receh.
Maka aku memilih untuk pergi,
sebelum ditelan mentah-mentah patah hati yang paling asing.
Aku melirik sekilas ke arah jam
yang tertera di telepon selularku, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat
empat puluh menit. Itu berati dua puluh menit lagi aku sudah harus bisa
memejamkan mata tanpa berpikir apa-apa. Because, nothing good happens after
midnight, prinsipku. Lewat tengah malam, pikiranmu akan berpesta pora, dan
kau mau tak mau akan diajak tanpa sanggup mengucapkan tidak. Seperti aku
sekarang, mencoba mengerti mengapa Aaron tidak menepati janjinya untuk bertemu
dan menjelaskan segala hal yang menjadi teka-tekinya. Mungkin memang benar, ada
beberapa hal yang harusnya dibiarkan tak dijelaskan, dibiarkan mengambang
seperti plastik alfamart yang mengambang di tepi pantai Ancol. Tapi, bukannya
dia seharusnya menghubungiku untuk sekadar bilang “maaf, aku tidak bisa
menepati janji?” bahkan dia tidak berpikir aku berhak mendapatkan sebuah kata maaf,
apalagi cinta? Sebelum aku masuk dalam fase yang disebut patah hati, aku
memilih pergi. Jatuh cinta ini mungkin terlalu dini, dan aku harus buru-buru
terbangun sebelum dilalap mimpi-mimpi.
Aku masih merasa yakin, dia akan
datang waktu itu. Sebelum akhirnya kesabaranku meruntuh pada pukul dua siang.
To: Aaron
Kamu di mana? Sepertinya kamu sudah
makan siang, jam makan siangku sudah habis.
Take care of yourself. Bye.
Sent.
6 bulan kemudian.
“Bu..”, Wawan, salah satu office
boy kantor tiba-tiba menghampiriku “ini ada paket buat Ibu dari Mailing
room. Katanya penting”. Hah? Keningku mengerut, sepertinya aku tak ada
belanja online akhir-akhir ini. Kenapa bisa ada paket? Aku buru-buru
menandatangani tanda terima untuk Wawan. “Trus ngapain kamu masih berdiri?”
setelah kuberikan tanda terima, namun dia masih berdiri di sampingku.
“Mau tau, Bu isinya apa. Habisnya
kata yang nganter penting. Harus cepat-cepat dikasih ke Ibu”, lanjut si Wawan.
“Kok kamu jadi kepo sih, Wan? Sana
balik” usirku.
Sepeninggal Wawan, aku berusaha
mengingat apa ada pekerjaan yang aku terlewati? Kalaupun ada berkas yang harus
aku tanda tangani fisik, pasti sebelumnya ada pemberitahuan melalui email,
karena paket yang dibawa Wawan tadi tidak berat, sudah pasti bukan barang belanjaan
onlineshop. Malah terbungkus amplop cokelat biasa berukuran A4.
Sayangnya, hanya tertera nama dan alamat kantorku sebagai penerimanya. Tak
tertulis siapa pengirim paket ini.
Isinya ternyata sebuah tiket
penerbangan PP menuju Kupang, secarik kertas, dan sebuah gantungan kunci
miniatur pesawat.
“Dear Rae,
Safe flight”
That’s it.
Siapa yang cukup gila ngasih tiket
gratis PP ke Kupang pas weekend ini? Aku membayangkan ada psikopat yang
mengincarku di bandara kedatangan nanti, lalu keesokkan harinya aku muncul di
koran Lampu Hijau dengan Headline “Telah Ditemukan Jasad Seorang Perempuan
berumur awal Tigapuluhan karena Tergiur Tiket Gratis ke Kupang Akhirnya Disekap
oleh Psikopat Gila”.
Semua psikopat awalnya ramah, kan?
Dia bahkan mengucapkan “Safe Flight” apa jangan-jangan nanti pesawat yang aku
tumpangi akan dibajak? Mengingat tiket pesawat yang dikirim adalah tiket VIP.
Siapa tahu, kan? Pembajakan pesawat sedang marak saat ini, walaupun bukan di
Indonesia sih, tapi kan selalu ada kemungkinan?
Oke, mungkin aku terlalu banyak
nonton serial The Mentalist. Tapi ini sungguh menggiurkan dan menakutkan
di saat yang sama. Jumat ini tinggal dua hari lagi dan aku harus memutuskan
pergi atau tidak ke Kupang, lalu tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah gantungan
kunci miniatur pesawat.
*****
“Terima Kasih, Captain” ucapku pada
Captain Mesakh, pilot yang bertugas mengantarkanku ke Bandara El Tari, Kupang.
Ritualku tak pernah berubah. Meski kadang, ritual ini menjadi jembatan untuk
kembali mengingat Aaron.
“Sama-sama nona, Tuhan menyertai”,
balasnya. Orang Kupang memang senang menambahkan kalimat Tuhan menyertai,
seperti doa agar kita semua selamat dalam lindunganNya. Kurang lebih seperti
itu. Dan tenang, tidak usah sedih “Ibu Negara” kali ini masih setia pada kardus
indomie yang berisi oleh-oleh untuk teman-temannya.
Maka di sinilah aku, Kupang. Aku
memutuskan untuk pergi, persetan dengan segala pikiran jelek. Aku menikmati
penasaran ini. Toh, kalau memang harus mati, aku mati di tanah tempat aku
menghabiskan masa kecilku, not bad.
Sebuah mobil hitam berplat nomor DH
yang menunjukkan bahwa aku memang berada di Kupang kadang sedikit membuat aku
tersenyum. Sudah lama aku tidak ke Kupang. Seperti apa perubahannya pun aku tak
pernah membayangkan akan sedrastis ini, walaupun suhu udaranya aku yakin tidak
berubah. Panas, menyengat.
“Son mau pi tidor di Tanta Lily sa
ko, Rae?” Orang yang bertugas menjemputku ini bertanya, mengapa aku tidak
menginap saja di rumah Tante Lily, teman dekat “Ibu Negara”. Jadi, mau tidak
mau aku pasti dipaksa dijemput, lalu diinapkan di rumah temannya ini.
“Son usah Bapa, be pi hotel sa. Ko
su bayar ju. Nanti bar be pi rumah sana” balasku menggunakan bahasa Kupang yang
fasih, menolak dengan alasan hotel sudah dibayar duluan, meski nanti akan tetap
pergi mengunjungi Tante Lily.
Waktu sudah menunjukkan hampir
tengah malam ketika aku sampai di salah satu kamar hotel terbaik di Kupang, dan
sebelum jam berdentang dua belas kali, aku sudah buru-buru terlelap.
I can’t stand to fly
I’m not that naive
I’m just out to find
The better part of me..
Terdengar lagu Superman dari Five
for Fighting menandakan ada panggilan masuk. Rasanya aku baru tidur sebentar,
tapi terik matahari sudah masuk saja di sela-sela gorden kamar. Nomor tak
dikenal memanggil. Okay, this is bad.
“Halo”, sapaku antara deg-degan dan
mengumpulkan nyawa sambil mengucek-ngucek mata. Kali aja ada belek sebesar
harapan naik gaji tahun ini.
“Morning, Rae. Sarapan yuk?”
suara pria di ujung sana termasuk renyah, crispy seperti kulit ayam yang
suka dijual di gerai fastfood, menyapaku.
“Ini siapa?” Enak saja, main
mengajak sarapan.
“Baru juga enam bulan, Rae. Kamu
sudah melupakan Captain terganteng di seluruh bandara seIndonesia?”
“Aaron?” kataku seolah tak percaya.
“Kamu di mana? Di Kupang? Jadi paket itu, tiket ini, kamu yang kirim?”
percayalah, aku tidak jago menebak tapi, siapa lagi yang tidak tahu malu self
claimed dirinya sendiri selain Aaron? Kuberondong pertanyaan yang harusnya,
dari awal aku sudah tahu jawabannya.
“Turun yuk, sarapan. Aku sudah di
bawah. Menunggumu”.
****
Secangkir teh manis hangat tersaji
di depanku dan Aaron yang sengaja kami pesan di resto hotel tempatku menginap. Mungkin
aku akan mengidap diabetes akut setelah meminum teh ini, manis karena gulanya dan
manis karena janji-janji Aaron yang telah lalu. Sudah 15 menit lamanya kami
berdua hanya saling terdiam, menunduk sambil sibuk mengaduk cangkir teh
masing-masing.
“Maaf, Rae” Aaron memecah keheningan
dengan sebuah kalimat yang aku tidak tau maksudnya. Ya, karena bagiku Aaron
telah banyak melakukan kesalahan.
“Maaf, untuk apa?” jawabku singkat,
berharap dia menyadari telah banyak kesalahan yang dia lakukan.
“Maaf untuk kejadian yang sampai
harus membuatmu mengirimkan pesan ‘Kamu
di mana? Sepertinya kamu sudah makan siang, jam makan siangku sudah habis.
Take
care of yourself. Bye.’
“Hahaha”
aku tertawa seketika mendengar ucapan Aaron yang hapal isi pesan yang aku
kirimkan beberapa waktu lalu bahkan sampai kata ‘bye’ nya dia ucapkan juga. Dan
intonasi suaranya diucapkan seperti aku yg sedang berbicara.
“Tidak mirip ya? Makanya kamu
tertawa” Aaron menggaruk-garuk kepalanya.
“Sangat tidak mirip”
“Baiklah, aku akan berusaha lebih
keras lain kali. Tapi, Rae. Intinya aku sungguh-sungguh meminta maaf. Dan aku
akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Jadi begini, Rae.”
***
Mataku fokus memperhatikan tiap
wajah yang baru saja tiba di Bandara Soetta, mencari sosok perempuan yang
selama ini aku cari. Ya, orang kepercayaanku yang menelpon tadi pagi memberi info
kalo dia ada diantara salah satu penumpang yang tiba dari Dubai. Demi dirinya
aku membatalkan sepihak janji dengan Rae, padahal janji itu sangat penting
karena aku akan meluruskan kesalahpahaman ketika aku ulang tahun beberapa waktu
lalu. Semua aku lakukan demi adikku. Yang kini dia berada tepat di hadapanku. Aku
memeluknya dengan erat, berharap dia tidak akan meninggalkanku kembali. Adikku ini
sebenernya bukannya adik kandung ataupun adik sepupu. Adikku ini adalah adikku.
Sebuah nama yang aku berikan untuk perempuan yang selama ini aku nantikan
kehadirannya. Yang selalu aku cari keberadaannya.
Aku memutuskan untuk ikut dengannya
menetap dengannya di Malang. Hari-hariku terasa sangat bahagia bersama adikku. Tapi
terasa hampa, seperti ada yang hilang dari yang seharusnya terjadi. Euphoria kehadiran
dan kembalinya adikku hanya terasa seminggu setelah kedatangannya. Ragaku disini,
tapi jiwaku entah dimana. Hingga suatu sore dibulan ke 5 aku bersamanya terjadi
percakapan yang menampar akal sehatku.
“Aaron”
“Ya, kenapa?”
“Pergilah, tempatmu bukan disini. Kembalilah.
Menemukanku, dan hidup bersamaku itu hanya ambisimu. Bukan panggilan hati
kecilmu. Pergilah.”
***
“Itu lah, Rae yang sebenarnya
terjadi. Sekarang aku kembali ke tempat asalku. Kembali ke tempat seharusnya
aku berada. Kembali pada hati yang selama ini aku nanti”
Epilog.
Aaron adalah sebuah rencana Tuhan yang kupikir bisa menjadi rumah, namun ternyata dia hanyalah sebuah tempat singgah yang tak bisa disanggah. Hanyalah sekedar bagian dari sebuah perjalanan pendek. Aku tahu, aku telah jatuh hati padanya, tapi manusia boleh memilih. Dan aku memilih untuk patah.