Selasa, Maret 22, 2016

#TeamMangTimangAnakkuSayang cerita ke-3



“Boleh pinjam korek?”

“Ini, silahkan”

Seorang pemuda berambut keriting yang sedari tadi mondar-mandir di sampingku, akhirnya berani mengutarakan niatnya. Sudah sekitar 15 menit dia mondar-mandir dengan sebatang rokok putih terselip diantara jari telunjuk dan jari  tengah. Aku sendiri sudah tidak heran melihat orang sungkan menyapaku,  mungkin aku harus mengubah bentuk wajahku sedikit. Eh, tapi, setelah aku pikir-pikir, ada satu orang yang tanpa ragu dan sungkan untuk menyapaku. Yak, gadis yang sempat berbincang singkat denganku di bandara kemarin. Ah sial, aku lupa menanyakan namanya.

“Terima kasih koreknya” lamunanku buyar setelah pemuda berambut keriting mengembalikan korek yang dia pinjam. “Iya sama-sama” jawabku singkat sambil tersenyum agar dia tidak takut denganku. Kemudian sang pemuda pergi ke arah Katedral Larantuka yang berada tepat di depanku, dan dengan sekejap menghilang dalam kerumunan orang – orang yang akan menyaksikan lebih dekat patung Maria yang akan diarak. Disandingkan dengan sebuah peti mati. Peti mati ini bagian yang tak terpisahkan darinya. Peti ini hanya dikeluarkan sekali setahun.Uniknya, patung Maria dan petinya disimpan di tempat yg berbeda. Patung Maria disimpan di lemari jati di belakang altar Kapel Tuan Ma, sedangkan peti mati ini disimpan di Kapel Tuan Ana, yang letaknya di ruas jalan yang sama berjarak satu kilometer. Warga Larantuka menyebut patung Maria sebagai Tuan Ma dan peti mati itu Tuan Ana. Seperti Maria, peti mati itu misterius. Peti  tersebut tak pernah dibuka ratusan tahun. Entah ada apa di dalamnya, tak pernah ada yang tahu. Dari mana peti mati kuno itu berasal, tabu membicarakannya. Ada kepercayaan, siapa berani membuka, ia bakal mati seketika.

Peti mati Tuan Ana dipikul empat orang yang mengenakan kostum putih gaya Portugis abad pertengahan dan topi kerucut merah. Wajah mereka tertutup. Hanya ada celah yang memperlihatkan mata. Mereka adalah orang- orang yg bernazar khusus. Mereka memerankan Nikodemus, yang menurunkan Yesus dari salib lalu memakamkannya di Bukit Golgota. Nikodemus adalah anggota majelis Farisi yang diam-diam mengasihi ajaran sang Guru. Ia membawa campuran minyak mur dan gaharu. Dan mengafani Isa dengan kain linen. Warga Larantuka dengan lafal lokal menyebut para Nikodemus itu Lakademu.

“Rokokmu dihisap angin capt”

Rokok yang menyala terselip diantara jari telunjuk dan jari manis, terbakar habis karena tertiup angin tanpa aku hisap sama sekali, karena lebih fokus menyaksikan arak-arakan di depan Katedral.
Aku segera mencari sumber suara tersebut. Tapi tak juga menemukan darimana asalnya. “ah sial! siapa yang menggodaku” aku kesal sendiri karena tidak berhasil menemukan orang itu. Tapi, bukan hal sulit bagiku untuk mengira-ngira siapa yang menanggilku. Tidak ada yang memanggilkku dengan panggilan “capt” di kota ini selain para cabin crew dan pegawai bandara. Ditambahan lagi suara ini suara perempuan yg tidak begitu asing. Makin mengerucut tebakanku kepada para cabin crew. Mataku terus menyapu kearah kerumunan yang ada disekitarku, mencari gadis yang wajahnya dapat aku kenali. Tapi nihil.

“Bukankah, seorang penerbang harus memiliki mata yang sehat dan berkemampuan baik, Capt. Masa mencari aku saja tidak ketemu haha”

Sumber masalah muncul dengan sendirinya disampingku. Gadis yang kemarin bertemu denganku di Bandara. Dengan mudah aku mengenalinya. Rambut pendek sebahu berwarna kecoklatan, kacamata berbingkai hitam tebal yang menutupi alisnya yang lebat. kaus dengan model dan gambar yang sama dengan yang dia gunakan kemarin, yang berbeda hanya warnanya saja. Sepasang sepatu sneakers berwarna coklat muda dengan kombinasi warna putih yang lebih dominan mengiasi kaki mungilnya.

‘cekrek’

Aku belum memberi tanggapan atas penyatannya, tapi, suara kamera mirrorless sehabis mengambil gambar yang dibidik kearah wajahku, membuatku tersadar. Harus aku akui, beberapa detik sebelum ini, aku memperhatikan dengan seksama penampilan dia hari ini. 

“Kamu sudah iseng memanggil lalu bersembunyi, sekarang diam-diam memotret. Habis ini apalagi?”

“Haha, kamu terlihat lebih muda, capt, tanpa menggunakan seragam.”

“Oh ya? Benarkah? Kamu tidak sedang mencoba untuk menghibur om-om agar kamu bisa pulang ke Jakarta dengan tiket pesawat gratis kan?”

“Tidak, capt. Tapi lebih tepatnya aku mau tiket Jakarta-Honduras gratis”

“Baiklah kalau begitu, sini kameramu”

Aku mengambil kamera dari tangannya, kemudian membalik layar untuk mengambil foto selfie. 1, 2, 3, 4, foto berhasil diambil, dengan gaya yang berbeda dengan latar kerumunan orang yg sedang arak-arakan dan dihiasi lampu temaram yang menempel di dinding katedral. Dan ini pertama kalinya aku berfoto di Larantuka.

“Lihat, capt. Benarkan kamu tampak lebih muda?” dia menyodorkan lcd kameranya ke wajahku.

Terpampang wajah kami berdua di lcd kamera tersebut. Dengan latar jalanan di depan katedral yg ramai dengan arak-arakan Lakademu.

“Aku harus segera pergi” kataku singkat sambil menyerakan kamera miliknya.

“Tapi, Capt tung…” belum selesai kalimat yang ia ucapkan tetapi aku sudah berlari menjauh darinya.

Sial. Sial. Sial!!!!

1 komentar: