“Boleh pinjam korek?”
“Ini, silahkan”
Seorang pemuda berambut keriting yang sedari tadi
mondar-mandir di sampingku, akhirnya berani mengutarakan niatnya. Sudah sekitar
15 menit dia mondar-mandir dengan sebatang rokok putih terselip diantara jari
telunjuk dan jari tengah. Aku sendiri
sudah tidak heran melihat orang sungkan menyapaku, mungkin aku harus mengubah bentuk wajahku
sedikit. Eh, tapi, setelah aku pikir-pikir, ada satu orang yang tanpa ragu dan
sungkan untuk menyapaku. Yak, gadis yang sempat berbincang singkat denganku di
bandara kemarin. Ah sial, aku lupa menanyakan namanya.
“Terima kasih koreknya” lamunanku buyar setelah pemuda
berambut keriting mengembalikan korek yang dia pinjam. “Iya sama-sama” jawabku
singkat sambil tersenyum agar dia tidak takut denganku. Kemudian sang pemuda
pergi ke arah Katedral Larantuka yang berada tepat di depanku, dan dengan
sekejap menghilang dalam kerumunan orang – orang yang akan menyaksikan lebih dekat patung
Maria yang akan diarak. Disandingkan
dengan sebuah peti mati. Peti mati ini bagian yang tak terpisahkan darinya.
Peti ini hanya dikeluarkan sekali setahun.Uniknya, patung Maria dan petinya
disimpan di tempat yg berbeda. Patung Maria disimpan di lemari jati di belakang
altar Kapel Tuan Ma, sedangkan peti mati ini disimpan di Kapel Tuan Ana, yang
letaknya di ruas jalan yang sama berjarak satu kilometer. Warga Larantuka
menyebut patung Maria sebagai Tuan Ma dan peti mati itu Tuan Ana. Seperti
Maria, peti mati itu misterius. Peti tersebut tak pernah dibuka ratusan tahun.
Entah ada apa di dalamnya, tak pernah ada yang tahu. Dari mana peti mati kuno
itu berasal, tabu membicarakannya. Ada kepercayaan, siapa berani membuka, ia
bakal mati seketika.
Peti mati Tuan Ana dipikul empat orang yang mengenakan
kostum putih gaya Portugis abad pertengahan dan topi kerucut merah. Wajah
mereka tertutup. Hanya ada celah yang memperlihatkan mata. Mereka adalah orang-
orang yg bernazar khusus. Mereka memerankan Nikodemus, yang menurunkan Yesus
dari salib lalu memakamkannya di Bukit Golgota. Nikodemus adalah anggota
majelis Farisi yang diam-diam mengasihi ajaran sang Guru. Ia membawa campuran
minyak mur dan gaharu. Dan mengafani Isa dengan kain linen. Warga Larantuka
dengan lafal lokal menyebut para Nikodemus itu Lakademu.
“Rokokmu dihisap angin capt”
Rokok yang menyala terselip diantara jari telunjuk dan jari
manis, terbakar habis karena tertiup angin tanpa aku hisap sama sekali, karena
lebih fokus menyaksikan arak-arakan di depan Katedral.
Aku segera mencari sumber suara tersebut. Tapi tak juga
menemukan darimana asalnya. “ah sial! siapa yang menggodaku” aku kesal sendiri
karena tidak berhasil menemukan orang itu. Tapi, bukan hal sulit bagiku untuk
mengira-ngira siapa yang menanggilku. Tidak ada yang memanggilkku dengan
panggilan “capt” di kota ini selain para cabin crew dan pegawai bandara. Ditambahan
lagi suara ini suara perempuan yg tidak begitu asing. Makin mengerucut tebakanku
kepada para cabin crew. Mataku terus menyapu kearah kerumunan yang ada
disekitarku, mencari gadis yang wajahnya dapat aku kenali. Tapi nihil.
“Bukankah, seorang penerbang harus memiliki mata yang sehat
dan berkemampuan baik, Capt. Masa mencari aku saja tidak ketemu haha”
Sumber masalah muncul dengan sendirinya disampingku. Gadis yang
kemarin bertemu denganku di Bandara. Dengan mudah aku mengenalinya. Rambut pendek
sebahu berwarna kecoklatan, kacamata berbingkai hitam tebal yang menutupi
alisnya yang lebat. kaus dengan model dan gambar yang sama dengan yang dia
gunakan kemarin, yang berbeda hanya warnanya saja. Sepasang sepatu sneakers berwarna
coklat muda dengan kombinasi warna putih yang lebih dominan mengiasi kaki
mungilnya.
‘cekrek’
Aku belum memberi tanggapan atas penyatannya, tapi, suara kamera
mirrorless sehabis mengambil gambar yang dibidik kearah wajahku, membuatku tersadar.
Harus aku akui, beberapa detik sebelum ini, aku memperhatikan dengan seksama
penampilan dia hari ini.
“Kamu sudah iseng memanggil lalu bersembunyi, sekarang
diam-diam memotret. Habis ini apalagi?”
“Haha, kamu terlihat lebih muda, capt, tanpa menggunakan
seragam.”
“Oh ya? Benarkah? Kamu tidak sedang mencoba untuk menghibur
om-om agar kamu bisa pulang ke Jakarta dengan tiket pesawat gratis kan?”
“Tidak, capt. Tapi lebih tepatnya aku mau tiket Jakarta-Honduras
gratis”
“Baiklah kalau begitu, sini kameramu”
Aku mengambil kamera dari tangannya, kemudian membalik layar
untuk mengambil foto selfie. 1, 2, 3, 4, foto berhasil diambil, dengan gaya
yang berbeda dengan latar kerumunan orang yg sedang arak-arakan dan dihiasi
lampu temaram yang menempel di dinding katedral. Dan ini pertama kalinya aku
berfoto di Larantuka.
“Lihat, capt. Benarkan kamu tampak lebih muda?” dia
menyodorkan lcd kameranya ke wajahku.
Terpampang wajah kami berdua di lcd
kamera tersebut. Dengan latar jalanan di depan katedral yg ramai dengan arak-arakan
Lakademu.
“Aku harus segera pergi” kataku singkat sambil menyerakan
kamera miliknya.
“Tapi, Capt tung…” belum selesai kalimat yang ia ucapkan
tetapi aku sudah berlari menjauh darinya.
Sial. Sial. Sial!!!!
JIYEEEEHHHH CAPT SALTING JIYEEEHHHH UHUYY
BalasHapus