Jakarta, sore ini sungguh cantik. Matahari yang mulai undur
diri meninggalkan warna orange yang terlukis indah di langit. Membuat burung-burung
yang terbang seakan bahagia dengan apa yang matahari tinggalkan untuk menemani
tiap kepakan sayap menuju tempat mereka beristirahat. Rombongan burung yang
baru saja melintas dihadapanku membuatku tersenyum, dikala aku sibuk dengan
tugasku memencet tombol di panel-panel.
Panel-panel penuh tombol dengan lampu berwarna merah, kuning
dan hijau dengan tuas besar ditengah menjadi pemandangan sehari-hari. Termasuk
hari ini. Seorang lelaki dengan tubuh tegak 170 cm disampingku sibuk dengan
pulpen dan kertas mengecek setiap persiapan. Sambil sesekali memencet tombol
yang ada di panel depan dan atas kepalanya. Aku memperhatikan sesekali sambil
ikut sibuk memencet tombol di panel persis seperti yang ia lakukan. Kesalahan sekecil
apapun tidak bisa ditolerir. Safety first
no compromise.
“QG 152, good evening
heading 120 climb to flight level 330 identified departure.” Suara dari control
121.2 memanduku untuk meneruskan penerbangan menuju Larantuka. “Clear climb to
330, heading 120 QG 152.” Aku merespon panduan dari menara control sambil terus
sibuk dengan panel-panel berwarna warni ini.
Ini bukan pertama
kalinya aku menerbangkan ribuan ton besi menuju Larantuka, “Kota seribu Kapel”. Sebuah kecamatan di
kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara
timur. Sebuah kota yang sangat indah, dikelilingi laut yang biru, gunung yang
megah, masyarakat yang ramah, kota yang cocok untuk menenangkan diri. Pesawat Airbus
A320 berkapasitas 150 penumpang terisi penuh oleh wisatawan. Tak heran, karena
esok adalah Paskah. Wisatawan, baik lokal maupun mancanegara umumnya
ramai datang pada hari raya keagamaan Jumat Agung dan Paskah. Karena sejak lama
terdapat sejumlah tradisi kegiatan dalam memperingati hari raya keagamaan umat
Katolik dan Kristen tersebut. Pada pagi hari terdapat prosesi arak-arakan kapal
menelusuri selat di pinggir kota. Kegiatan ini diikuti puluhan kapal yang
dipenuhi ratusan bahkan ribuan pengunjung. Prosesi lalu berlanjut pada malam
hari, dimana para peziarah mengikuti kegiatan jalan salib mengelilingi sebagian
wilayah kota Larantuka. Masih teringat jelas bagaimana aku dibangunkan cahaya
sunrise di hotel tempatku menginap yang berada tepat di depan Pantai Weri.
Membuatku ingin terus kembali ke kota ini.
“QG 152, contact control 121.2.”
“Good evening Jakarta
control 121.2, QZ 152 passing one zero thousand.”
“QG 152, identified approach turn left heading 120 continue
climb.”
Airbus A320 melesat di langit meninggalkan Jakarta dan hiruk
pikuknya.
“Capt, semalam kemana kok ga ikut makan malam perpisahan
crew? Seru banget loh acaranya.” Pria bertubuh tegap 170 cm disampingku
mengajukan pertanyaan yang membuatku
agak kebingungan untuk menjawabnya. “oh semalam cape banget abis narik 2 rit”
jawaban yang sengaja aku buat menjadi lelucon agar tidak terus menerus timbul
pertanyaan yang lainnya. Dan terbukti dia merespon dengan tertawa masam.
Sebenarnya, alasan aku tidak menghadiri makan malam perpisahan salah satu crew adalah karena
yang mengadakan perpisahan itu mantan pacarku. Dan aku memilih untuk tidak
bertemu untuk terakhir kalinya agar tidak ada lagi pertemuan selanjutnya. Selama
ini jika aku menghadiri suatu pertemuan yang bertajuk pertemuan terakhir justru
itu menjadi awal untuk pertemuan berikutnya. Dan aku mencoba untuk mematahkan
pola yang selama ini berlaku dalam hidupku. Dan semoga saja aku berhasil
mengubah polanya. Ya, semoga.
“QZ 152 wind to 250 degrees 10 knot clear to land 25 left.”
“Clear to land 25 left QZ 152.”
Airbus 320 yang aku terbangkan sudah mendapat izin dan rute
dari menara control untuk mendarat di bandara Gewayantana, Larantuka. Aku
kembali sibuk memainkan panel-panel dan tuas sambil memberi instruksi kepada
cabin crew.
“Flight attendant, prepare for
arrival.”
“Cabin ready for landing, Capt.”
“Flight attendant, on station
secured for landing.”
Roda Airbus A320 perlahan
bergesekan dengan aspal landasan pacu bandara Gewayantana, sebuah bandara yang
memiliki panjang landasan pacu 900m dan lebar 30m. Suara mesin semakin menderu
bersamaan dengan laju pesawat yang semakin melambat di landasan pacu. Saat
mesin sudah mati total di parking gate aku kembali memberi isyarat kepada cabin
crew “Flight attendant, disarm slide and crosscheck.” Para cabin crew segera bersiap dengan sigap untuk melayani semua penumpang yang
akan turun.
Capt..Capt..Capt-po gangnam style!
BalasHapusKok lu keren sih bikin detail senjlimet gini...
Kirain cuma ngerti ember, ternyata kang kapal juga.
"Ya, semoga." kode keras men XD
BalasHapusanyway ini ukuran font nya emang sengaja beda beda apa gimana? bingung pas paragraph terkahir jadi kecil banget.