Selasa, Maret 15, 2016

#TeamMangTimangAnakkuSayang

Jakarta, sore ini sungguh cantik. Matahari yang mulai undur diri meninggalkan warna orange yang terlukis indah di langit. Membuat burung-burung yang terbang seakan bahagia dengan apa yang matahari tinggalkan untuk menemani tiap kepakan sayap menuju tempat mereka beristirahat. Rombongan burung yang baru saja melintas dihadapanku membuatku tersenyum, dikala aku sibuk dengan tugasku memencet tombol di panel-panel.

Panel-panel penuh tombol dengan lampu berwarna merah, kuning dan hijau dengan tuas besar ditengah menjadi pemandangan sehari-hari. Termasuk hari ini. Seorang lelaki dengan tubuh tegak 170 cm disampingku sibuk dengan pulpen dan kertas mengecek setiap persiapan. Sambil sesekali memencet tombol yang ada di panel depan dan atas kepalanya. Aku memperhatikan sesekali sambil ikut sibuk memencet tombol di panel persis seperti yang ia lakukan. Kesalahan sekecil apapun tidak bisa ditolerir. Safety first no compromise.

 “QG 152, good evening heading 120 climb to flight level 330 identified departure.” Suara dari control 121.2 memanduku untuk meneruskan penerbangan menuju Larantuka. “Clear climb to 330, heading 120 QG 152.” Aku merespon panduan dari menara control sambil terus sibuk dengan panel-panel berwarna warni ini. 

Ini  bukan pertama kalinya aku menerbangkan ribuan ton besi menuju Larantuka, “Kota seribu Kapel”. Sebuah kecamatan di kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara timur. Sebuah kota yang sangat indah, dikelilingi laut yang biru, gunung yang megah, masyarakat yang ramah, kota yang cocok untuk menenangkan diri. Pesawat Airbus A320 berkapasitas 150 penumpang terisi penuh oleh wisatawan. Tak heran, karena esok adalah Paskah. Wisatawan, baik lokal maupun mancanegara umumnya ramai datang pada hari raya keagamaan Jumat Agung dan Paskah. Karena sejak lama terdapat sejumlah tradisi kegiatan dalam memperingati hari raya keagamaan umat Katolik dan Kristen tersebut. Pada pagi hari terdapat prosesi arak-arakan kapal menelusuri selat di pinggir kota. Kegiatan ini diikuti puluhan kapal yang dipenuhi ratusan bahkan ribuan pengunjung. Prosesi lalu berlanjut pada malam hari, dimana para peziarah mengikuti kegiatan jalan salib mengelilingi sebagian wilayah kota Larantuka. Masih teringat jelas bagaimana aku dibangunkan cahaya sunrise di hotel tempatku menginap yang berada tepat di depan Pantai Weri. Membuatku ingin terus kembali ke kota ini.

“QG 152, contact control 121.2.”
“Good evening  Jakarta control 121.2, QZ 152 passing one zero thousand.”
“QG 152, identified approach turn left heading 120 continue climb.”

Airbus A320 melesat di langit meninggalkan Jakarta dan hiruk pikuknya.

“Capt, semalam kemana kok ga ikut makan malam perpisahan crew? Seru banget loh acaranya.” Pria bertubuh tegap 170 cm disampingku mengajukan pertanyaan  yang membuatku agak kebingungan untuk menjawabnya. “oh semalam cape banget abis narik 2 rit” jawaban yang sengaja aku buat menjadi lelucon agar tidak terus menerus timbul pertanyaan yang lainnya. Dan terbukti dia merespon dengan tertawa masam.

Sebenarnya, alasan aku tidak menghadiri  makan malam perpisahan salah satu crew adalah karena yang mengadakan perpisahan itu mantan pacarku. Dan aku memilih untuk tidak bertemu untuk terakhir kalinya agar tidak ada lagi pertemuan selanjutnya. Selama ini jika aku menghadiri suatu pertemuan yang bertajuk pertemuan terakhir  justru itu menjadi awal untuk pertemuan berikutnya. Dan aku mencoba untuk mematahkan pola yang selama ini berlaku dalam hidupku. Dan semoga saja aku berhasil mengubah polanya. Ya, semoga.

“QZ 152 wind to 250 degrees 10 knot clear to land 25 left.”
“Clear to land 25 left QZ 152.”

Airbus 320 yang aku terbangkan sudah mendapat izin dan rute dari menara control untuk mendarat di bandara Gewayantana, Larantuka. Aku kembali sibuk memainkan panel-panel dan tuas sambil memberi instruksi kepada cabin crew.

“Flight attendant, prepare for arrival.”
“Cabin ready for landing, Capt.”
“Flight attendant, on station secured for landing.”

Roda Airbus A320 perlahan bergesekan dengan aspal landasan pacu bandara Gewayantana, sebuah bandara yang memiliki panjang landasan pacu 900m dan lebar 30m. Suara mesin semakin menderu bersamaan dengan laju pesawat yang semakin melambat di landasan pacu. Saat mesin sudah mati total di parking gate aku kembali memberi isyarat kepada cabin crew “Flight attendant, disarm slide and crosscheck.” Para cabin crew segera bersiap dengan sigap untuk melayani semua penumpang yang akan turun.

Aku menggeret koper menuju pintu keluar bandara sambil menyalakan handphone dan melihat ada beberapa pesan masuk dan segera memasukan handphone kedalam saku karena tidak ada pesan yang penting. “Capt!” suara perempuan terdengar di telingaku, asal suara itu dari belakang, dan aku reflek menoleh kearah sumber suara itu. Seketika seorang perempuan berlari kearahku, tapi siapa dia? sepertinya aku mengenalnya?

2 komentar:

  1. Capt..Capt..Capt-po gangnam style!

    Kok lu keren sih bikin detail senjlimet gini...
    Kirain cuma ngerti ember, ternyata kang kapal juga.

    BalasHapus
  2. "Ya, semoga." kode keras men XD
    anyway ini ukuran font nya emang sengaja beda beda apa gimana? bingung pas paragraph terkahir jadi kecil banget.

    BalasHapus